Strategi restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dipilih pemerintah dalam lima tahun terakhir membuka pintu bagi perusahaan pelat merah berlaga di pasar global. Sebagaimana diketahui sejak 2019-2024 telah lahir holding-holding baru dan juga perusahaan hasil penggabungan beberapa BUMN maupun anak usahanya.
Dari segi aset, BUMN per Desember 2023 tercatat memiliki portofolio sekitar US$680 miliar atau Rp10.400 triliun.
Nilai aset itu disebut melampaui BUMN asal Singapura, Temasek Holdings Limited. Mengutip laman resmi Temasek, perusahaan investasi ini tercatat memiliki nilai portofolio bersih yang mencakup investasi, aset, dan liabilitas sebesar US$382 miliar pada 2023.
Bila dirinci, sejumlah BUMN memang mencatat pertumbuhan aset signifikan seiring dengan langkah pemerintah membentuk holding dan merger perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis serupa.
Dalam jurnal yang diterbitkan Asian Development Bank (ADB), pengelompokan dan konsolidasi yang berkelanjutan dapat membantu mengurangi jumlah keseluruhan BUMN dan memungkinkan BUMN memiliki kinerja yang lebih baik.
Pasalnya hal tersebut memungkinkan BUMN yang berkinerja lebih baik untuk mengambil alih aset BUMN yang berkinerja buruk. “Konsolidasi harus bertujuan untuk menciptakan perusahaan yang layak,” demikian mengutip “Unlocking The Economic and Sosial Value of Indonesia’s State-Owned Enterprises” dari ADB, Jumat (11/10/2024).
Lebih lanjut ADB menyebut bahwa kebijakan klasterisasi dan holdingisasi dapat memberikan manfaat bagi BUMN selama perusahaan induk memiliki mandat yang jelas dan transparan. “Ada banyak kasus di mana BUMN tidak layak dan harus ditutup. BUMN ini cenderung kecil, memberikan sedikit nilai ekonomi atau sosial, dan aset mereka harus dilikuidasi dan ditransfer ke perusahaan yang lebih kompetitif,” tulis ADB.
Sebagaimana diketahui, pada 2023 Kementerian BUMN menutup 7 perusahaan pelat merah “zombie”. Pasalnya ketujuh entitas ini sudah lama tidak beroperasi dan tidak produktif.
Bila dirinci, restrukturisasi BUMN melalui holdingisasi dan merger nyatanya telah melahirkan perusahaan-perusahaan berskala global. Kini, Indonesia memiliki operator bandara terbesar ke-5 di dunia usai kelahiran PT Angkasa Pura Indonesia atau InJourney Airports. InJourney Airports merupakan peleburan PT Angkasa Pura I atau AP I dan PT Angkasa Pura II atau AP II.
Begitu pula dengan penggabungan empat perusahaan pelabuhan milik BUMN pada 1 Oktober 2021 lalu, dan menyisakan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) sebagai entitas yang menerima penggabungan (surviving entity). Setelah merger, nama perusahaan hasil penggabungan menjadi PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo.
Dengan adanya penggabungan ini, perusahaan tersebut memiliki nilai aset sebesar Rp112 triliun. Dengan total aset tersebut, Pelindo tercatat sebagai pelabuhan berskala global.
Lalu, juga ada PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) atau BSI yang merupakan hasil merger tiga anak usaha bank BUMN. Saat ini, 51,47% saham BSI dimiliki oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Sedangkan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menggenggam masing-masing 23,24% dan 15,38%. Lalu pemerintah Indonesia memiliki satu lembar saham dwiwarna.
Di kancah global, pada September 2024 lalu BSI berada pada peringkat 9 bank syariah dunia dengan kapitalisasi pasar terbesar. BSI sebagai bank syariah terbesar di Indonesia mencapai nilai kapitaliasi pasar US$9,15 miliar dolar berada di bawah Dubai Islamic Bank yang menduduki ranking 8 dengan nilai kapitalisasi pasar US$12,42 miliar dolar.
Kemudian PT PLN (Persero) resmi memiliki empat subholding, terdapat di dalamnya empat anak usaha PLN yang bergerak di sektornya masih-masing. Keempat subholding itu di antaranya adalah PLN Nusantara Power atau Generation Company 1 (Genco 1), PLN Indonesia Power atau Generation Company 2 (Genco 2), PLN Energi Primer Indonesia, dan PLN ICON Plus.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menegaskan dalam aksi korporasi tersebut perusahaan setidaknya memiliki dua Subholding yang akan berfokus pada sektor pembangkit, yakni PLN Indonesia Power (Genco 1) mengurusi kapasitas pembangkit sebesar 21 Giga Watt (GW), sementara PLN Nusantara Power (Genco 2) sebesar 18 GW.
“Dibandingkan dengan aset pembangkitan Genco-nya di Malaysia hanya sekitar 13 GW, jadi dua anak perusahaan ini adalah dua perusahaan Genco yang terbesar di Asia Tenggara,” ungkapnya beberapa waktu yang lalu.
Terkait holdingisasi BUMN ini ekonom senior Fauzi Ichsan menilai pertumbuhan bisnis BUMN tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi juga ada beberapa isu seperti public service obligation, premi yang harus ditetapkan di bawah harga ekonomi, serta masalah legacy bahkan solvency.
“Dampak dari faktor-faktor ini, bisa dikurangi melalui efisiensi dan restrukturisasi yang dapat direalisasikan melalui holdingisasi,” katanya, dikutip Jumat (11/10/2024).
Terpisah, pengamat BUMN Sunarsip mengatakan bahwa merger dan holdingisasi membuat perusahaan pelat merah memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih efisien. Dalam hal ini, Indonesia membuka peluang untuk menambah daftar BUMN berskala global.
“Kalau holding dan merger berjalan sesuai ekspektasi, [BUMN] dapat menjadi ikon kita di dunia internasional,” katanya.