Ilustrasi – Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata, Jawa Barat. ANTARA/HO-PT PLN (Persero)
Ekonom keuangan dan praktisi pasar modal Hans Kwee memproyeksikan investor bakal memburu perusahaan di sektor usaha energi baru dan terbarukan (EBT), yang melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO), menyusul tren positif energi hijau tersebut baik di Indonesia maupun global.
“Hal ini akan menjadi sentimen positif bagi perusahaan energi terbarukan yang akan melakukan IPO,” ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Rabu.
Presiden Prabowo Subianto dalam lawatannya ke China, Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Emirat Arab, serta menghadiri KTT APEC di Peru dan KTT G20 di Brasil belum lama ini, juga menyampaikan komitmen Indonesia dalam mendorong energi terbarukan.
Komitmen Indonesia menuju 75 gigawatt (GW) energi terbarukan pada 2040, juga disampaikan pemerintah dalam Conference of the Parties (COP) 29 di Azerbaijan.
Hans melihat tren global dan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mendorong pengembangan energi terbarukan akan menjadi sentimen positif bagi perusahaan EBT, yang akan go public.
Tren tersebut, kata dia, bisa menjadi daya tarik bagi investor terhadap IPO perusahaan energi terbarukan.
“IPO perusahaan energi terbarukan cenderung akan diminati investor, mengingat prioritas Pemerintah Indonesia dan global dalam mendorong lingkungan berkelanjutan termasuk salah satunya melalui penggunaan energi ramah lingkungan. Tren global serta komitmen dan kebijakan Pemerintah Indonesia akan menjadi sentimen positif bagi perusahaan EBT yang akan go public,” kata Hans.
Hans pun menyarankan investor melihat pipeline dan profil perusahaan energi terbarukan yang akan IPO.
Pasalnya, setiap jenis energi hijau memiliki karakteristik dan tantangan berbeda.
Dia mencontohkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang membutuhkan investasi dan biaya perawatan/pemeliharaan cukup besar.
Sementara, pembangkit listrik tenaga arus laut juga memiliki banyak tantangan. Energi angin (bayu) juga relatif tidak stabil, karena bergantung pada kecepatan angin.
“Akan tetapi, ujungnya adalah profit untuk kita melihat prospek perusahaan energi terbarukan,” ujarnya.
Menurut Hans, sentimen positif lainnya adalah potensi peningkatan permintaan listrik ke depan.
Target pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen akan turut menggerakkan industri/manufaktur, sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap tenaga listrik.
Sentimen positif tersebut juga telah mendorong perusahaan besar yang selama ini bergerak di energi fosil seperti batu bara, mulai memasukkan energi terbarukan ke dalam portofolio perusahaan.
Untuk dapat melakukan lompatan besar energi terbarukan, Hans menilai pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi pelaku usaha, yaitu insentif fiskal, kebijakan, dan regulasi sehingga menarik minat investor.
Dia mencontohkan, potensi energi surya melimpah, tetapi pemanfaatan belum optimal.
Demikian juga dengan kendaraan listrik yang masih menggunakan energi fosil. Oleh sebab itu, menurutnya, perlu terus dibangun pembangkit listrik energi terbarukan.
“Jadi kita mau tukar dengan mobil listrik, tetapi masih memakai listrik yang dihasilkan dari batu bara, sehingga masih kurang optimal dalam upaya mengurangi karbon,” ujarnya pula.
Indonesia memiliki potensi besar energi terbarukan. Berdasarkan data Kementerian ESDM per semester II-2024, potensi energi terbarukan di tanah air sebesar 3.687 GW, dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 0,3 persen atau 13.781 megawatt (MW).
Potensi tenaga surya 3.294 GW, baru dimanfaatkan 675 MW; angin memiliki potensi 155 GW, tetapi pemanfaatan 152 MW; hidro 95 GW, pemanfaatan 6.697 MW; arus laut 63 GW dan belum ada pemanfaatan; bioenergi 57 GW, pemanfaatan 3.408 MW; serta panas bumi 23 GW, pemanfaatan 2.597 MW.