
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) menyatakan pentingnya mengubah narasi keluarga berencana menjadi masyarakat berencana untuk menjawab tantangan bonus demografi.
Sekretaris Kemendukbangga Budi Setiyono di Jakarta Rabu mengemukakan, Kemendukbangga/BKKBN perlu membuat kebijakan yang berbasis keluarga berencana untuk mewujudkan keluarga berkualitas.
“Keberhasilan menjadikan keluarga berencana sebagai budaya nasional adalah fondasi penting, tetapi tantangan demografi hari ini jauh lebih kompleks, maka, dibutuhkan narasi baru yaitu dari keluarga berencana menuju masyarakat berencana,” ujarnya.
Budi memaparkan, transformasi masyarakat berencana bisa dilakukan melalui program KB untuk meningkatkan kesadaran sosial kolektif. Capaian tersebut menjadi landasan kuat untuk transisi menuju pendekatan pembangunan yang lebih menyeluruh.
Kemudian, dengan membangun masyarakat berencana yang menekankan pada perencanaan pembangunan manusia dan disesuaikan dengan proyeksi pertumbuhan penduduk serta dinamika usia di tiap wilayah yang berbeda.
Keluarga sebagai simpul pembangunan juga harus menjadi pusat kebijakan, oleh karena itu, perlu integrasi data keluarga untuk meningkatkan daya ungkit pembangunan manusia.
Berdasarkan kajian Bappenas tahun 2023, hanya satu dari 34 provinsi yang memiliki sistem perencanaan penduduk lintas sektor secara konsisten. Maka, Kemendukbangga/BKKBN tengah mengembangkan kebijakan integratif berbasis siklus hidup keluarga.
Melalui Program Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting) misalnya, pemerintah dapat mencegah kerugian ekonomi hingga Rp600 triliun per tahun.
“Jika satu juta keluarga risiko stunting tidak diintervensi, potensi kehilangan sumber daya manusia produktif terus membesar,” ucapnya.
Kemudian, program Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) untuk meningkatkan peran ayah di dalam pengasuhan. Program tersebut dapat mencegah gangguan perilaku anak hingga risiko kriminalitas.
Selanjutnya, Program Lansia Berdaya yang dapat mengubah beban penduduk usia tua yang selama ini pasif menjadi aktif. Selain itu, juga Program Taman Asuh Sayang Anak yang hadir untuk menanggulangi kurangnya fasilitas tempat penitipan anak berkualitas yang menyebabkan perempuan sulit kembali bekerja, sehingga menurunkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan.
“Terakhir, SuperApps Keluarga. Tanpa digitalisasi, program keluarga rawan tumpang tindih dan tidak efisien. SuperApps akan memangkas biaya birokrasi, mempercepat target intervensi berbasis data rumah tangga (NIK), berbasis teknologi sistem layanan keluarga yang adaptif dan presisi,” tuturnya.