Pakar: Pencabutan insentif EV CBU hindari ketergantungan impor

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menyatakan tidak lagi memperpanjang insentif untuk mobil berbasis baterai listrik (battery electric vehicle/BEV) yang dijual di pasar domestik dengan skema impor utuh (Completely Built-Up/CBU) pada 2026.

Menyikapi hal tersebut, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu menyatakan langkah pemerintah sudah sangat tepat untuk menghindari ketergantungan terhadap barang impor.

“Mencabut insentif CBU adalah keputusan yang strategis untuk mendorong industrialisasi dan menghindari ketergantungan impor,” kata Yannes Martinus Pasaribu saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Jumat.

Keputusan tersebut diharapkan oleh Yannes, diambil dengan langkah dan persiapan yang matang sehingga tidak berbenturan dengan cita-cita pemerintah yang menginginkan terjadinya peralihan yang cepat ke kendaraan listrik di Indonesia.

Menurut dia, jika insentif kendaraan listrik sekadar dihentikan pada 2025 tanpa adanya persiapan yang memadai, risikonya sangat besar.

Para pengusaha yang sudah mengambil slot insentif impor sesungguhnya melakukannya sebagai bentuk komitmen awal untuk berinvestasi di pabrik dalam negeri sekaligus membangun rantai pasok lokal demi memenuhi syarat TKDN 40 persen.

Tanpa transisi yang jelas, harga EV berpotensi melonjak drastis hingga 30 – 40 persen, yang berimbas pada stagnasi pasar. Dampaknya tidak hanya hilangnya momentum percepatan adopsi EV di Indonesia, tetapi juga hilangnya kepercayaan produsen multinasional untuk menanamkan investasi jangka panjang di Tanah Air.

Sehingga, yang diperlukan saat ini tidak hanya melakukan pencabutan kebijakan tersebut. Melainkan, pemerintah diminta untuk memberikan solusi lain yang konkret dengan menjalin kolaborasi kepada produsen untuk memastikan pelaku industri lokal benar-benar terlibat.

“Jadi yang dibutuhkan bukan sekadar mencabut kebijakan semata, tapi harus membangun jalan pengganti solutif yang konkret. Jika ini dilakukan dengan kolaborasi erat antara pemerintah, produsen, dan memastikan pelaku industri lokal benar-benar terlibat, kebijakan ini bisa menjadi pemicu lompatan industri otomotif nasional,” ujar dia.

Yang berbahaya adalah, ketika hal tersebut dipaksakan tanpa adanya solusi konkret. Kebijakan ini justru menjadi pedang yang dapat menghancurkan momentum pasar yang sudah terbangun selama ini hingga mengurangi kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.

“Intinya, mencabut insentif itu penting, tetapi kesuksesannya bergantung pada kemampuan pemerintah menyediakan jalan langkah konkret yang memadai sebelum menghentikan insentif impor CBU, agar pasar mobil listrik tetap tumbuh sekaligus mendorong produksi lokal,” tutur dia.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan tidak akan memperpanjang insentif untuk mobil berbasis baterai listrik (battery electric vehicle/BEV) yang dijual di pasar domestik dengan skema impor utuh (Completely Built-Up/CBU) pada tahun 2026.

‎Adapun pemerintah memberikan insentif untuk importasi CBU mobil listrik hingga akhir Desember 2025 berupa bea masuk dan keringanan PPnBM dan PPN, dengan ketentuan perusahaan penerima manfaat insentif ini harus melakukan produksi dalam negeri 1:1 dari jumlah kendaraan CBU yang masuk ke pasar domestik.

‎”Insya Allah tidak akan lagi kami keluarkan izin CBU, izin CBU dalam konteks skema investasi dengan mendapatkan manfaat (insentif),” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam pernyataan di Jakarta, Jumat.

Saat ini ada enam perusahaan penerima manfaat insentif importasi BEV. Diketahui bahwa enam perusahaan tersebut memiliki rencana investasi di tanah air sebesar Rp15,52 triliun yang memiliki kapasitas produksi hingga mencapai 305 ribu unit sebagai imbal balik dari mengikuti program ini.

Kemenperin mendorong para penerima manfaat untuk merealisasikan produksinya secara domestik.

link slot gacor hari ini