Indonesia saat ini tengah membangun fasilitas pengolahan bauksit menjadi alumina atau Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase 1 oleh PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) di Mempawah, Kalimantan Barat.
PT BAI sendiri merupakan perusahaan patungan dari PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Nantinya proyek tersebut akan memproduksi alumina hingga 1 juta ton per tahun yang ditargetkan bisa terealisasi pada awal 2025 mendatang.
Lantas, dengan pembangunan pabrik tersebut apakah bisa membuat Indonesia menjadi ‘raja’ di dunia?
Direktur Utama PT BAI Leonard M. Manurung mengungkapkan, walau Indonesia sudah menuju proses hilirisasi bauksit menjadi alumina, namun Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-6 sebagai pemilik cadangan bahan baku aluminium terbesar di dunia.
“Kalau melihat dari keberadaan kita di dunia ini, saat ini kita termasuk yang memiliki cadangan nomor 6 di dunia. Tentunya pemain-pemain besar di dunia banyak dan kita sangat ketergantungan oleh industri lainnya, seperti untuk industri aluminium ini membutuhkan listrik yang cukup tinggi,” ungkap Leonard kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone, dikutip Jumat (18/10/2024).
Dengan begitu, dia menilai RI untuk bisa menjadi ‘raja’ alumina dunia agak sulit untuk dicapai.
“Sehingga ini juga akan sangat sulit dan untuk industri alumina kita mempunyai bahan baku yang cukup. Artinya kalau dalam batasan sampai alumina dan dilanjutkan ke aluminium ini memang akan penuh tantangan,” ungkapnya.
Namun, Leonard mengatakan, hal itu tidak akan membuat pihaknya patah semangat untuk terus membangun industri hilirisasi bauksit menjadi alumina hingga aluminium di RI.
“Tetapi itulah yang menjadi harapan kita. Kita akan membangun dari hulu menengah sampai dengan ke hilirnya nanti,” tambahnya.
Dia menegaskan bahwa untuk membangun industri alumina hingga aluminium di Indonesia membutuhkan komitmen yang tinggi. Dia mengatakan pembangunannya harus melalui tantangan berat, salah satunya adalah pembiayaan yang merogoh kocek dalam.
“Tetapi untuk industri alumina ini memang membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Sehingga perlulah didorong agar para pengusaha untuk memasuki industri alumina dan tentunya kita harapkan juga industri hilirnya atau industri pabrik aluminium ini juga tetap harus didorong. Sehingga nantinya alumina kita ini bisa terserap di Indonesia ataupun di ekspor ke luar,” tandasnya.
Proyek Pabrik Alumina BAI
Leonard menjelaskan pihaknya sendiri saat ini tengah membangun fasilitas pengolahan bauksit menjadi alumina atau Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase 1 di Mempawah, Kalimantan Barat.
Kapasitas penuh produksi alumina di pabrik tersebut akan mencapai 1 juta ton per tahun yang ditargetkan akan terlaksana pada awal tahun 2025 mendatang.
Sebanyak 50% dari hasil produksi alumina SGAR tersebut akan dipasok untuk kebutuhan dalam negeri. Dia menyebutkan pihaknya akan mengirimkan setengah dari produksi alumina SGAR ke PT Inalum untuk diolah kembali menjadi aluminium.
Sedangkan sisanya, Leonard mengungkapkan alumina dari proyek dengan nilai investasi mencapai US$ 900 juta setara Rp 13,96 triliun (asumsi kurs Rp 15.517 per US$) tersebut akan diekspor.
“Seiring dengan pengembangan smelter grade alumina ini, kita harapkan alumina ini harus bisa diserap 100% oleh PT Inalum tetapi secara bertahap sekarang 50% kita kirimkan ke Inalum dan 50% lagi akan kita kirimkan keluar, kita ekspor,” ujar Leonard.
Dia mengatakan sisa produksi alumina SGAR yang belum terserap dalam negeri tersebut akan diekspor ke multi negara. Beberapa diantaranya adalah ke negara-negara di Eropa hingga dikirimkan ke China.
“Ekspornya ada beberapa negara masuk di Eropa dan juga dari China,” bebernya.