Banyak orang beranggapan menjadi raja hidupnya sangat enak. Tak perlu kerja keras, uang akan datang sendirinya berkat sistem feodalisme kerajaan, seperti upeti atau pajak.
Namun, Raja RI bernama Raden Mas Sudira ini punya sikap berbeda. Alih-alih berdiam diri di istana, dia memilih menjadi pengusaha dan jualan gula demi mencari pendapatan baru.
Bagaimana Kisahnya?
Dalam sejarah orang lebih mengenal Raden Mas Sudira sebagai Mangkunegara IV. Sebab, pada 1853 dia menjadi Raja Jawa dari Kesultanan Mangkunegaran. Ketika bertakhta, dia sebenarnya sudah kaya raya berkat warisan pendahulu dan sistem feodalisme kerajaan berupa pajak atau upeti.
Namun, Mangkunegara IV sadar bahwa kekayaannya diperoleh dari sistem ekonomi tradisional. Maksudnya, bisa saja hartanya hilang atau tak lagi bertambah sebab tidak mempunyai mesin pendulang uang mumpuni yang keberlanjutan.
Atas dasar ini, dia memilih turun gunung menjadi pengusaha untuk mencari sumber pendapatan baru. Dalam hal ini dia menjalankan ekonomi modern guna mencari sumber pendapatan baru. Toh, jika usaha berjalan, maka dia bisa melakukan banyak hal untuk rakyat.
Bisnis yang dipilihnya adalah tebu yang menghasilkan gula. Menurut riset “Bisnis Keluarga Mangkunegaran” (2016) kala itu, gula sudah menjadi komoditas ekspor penting seiring meningkatnya permintaan pasar dunia. Indonesia yang saat itu disebut Hindia Belanda memang sudah menjadi negara pengekspor gula di dunia. Tercatat, total ekspornya hanya kalah dari Kuba.
Selain itu, bisnis gula juga dipilih karena di kawasan kesultanan sudah banyak perkebunan tebu. Jadi, Mangkunegara IV tak perlu susah payah lagi.
Ketika berbisnis, Mangkunegara IV sebenarnya mematahkan mitos larangan bahwa raja tak boleh berwirausaha seperti rakyat jelata. Namun, dia tak peduli dan tetap menjalankan bisnis gula demi mencari pendapatan baru.
Sejarawan Wasino dalam Kapitalisme Bumiputera (2008) menjelaskan, langkah awal Mangkunegara IV adalah mengambilalih tanah kerajaan yang disewakan ke para pengusaha Barat.
Selanjutnya, pria kelahiran 1811 ini mendirikan pabrik gula di tanah kerajaan bermodalkan uang pinjaman sebesar 400.000 Gulden. Dari sini, berdiri pabrik gula Colomadu dan tak lama berdiri juga pabrik gula Tasikmadu.
Kedua pabrik dan ratusan hektar kebun tebu dikelola oleh orang Jerman kepercayaan, yakni R. Kamp dan digantikan G. Smith. Saat pengelolaan ini terjadi, Mangkunegara IV bertindak di luar kebiasaan Raja Jawa lain.
Dia tidak menyerahkan manajemen perusahaan ke keluarga yang tidak kompeten. Namun, diserahkan ke orang yang benar-benar ahli.
Hasilnya kemudian terlihat pada kecemerlangan produksi gula yang tercatat mencapai ratusan ribu ton per tahun. Total keuntungan pun setara 1-1,5 ton emas. Jika dalam perhitungan masa kini, berarti keuntungan bisa setara Rp1 triliun.
Semua keuntungan perlahan bisa digunakan untuk melunasi utang pinjaman, membangun pabrik baru, membuka perkebunan, hingga menggaji penuh para karyawan dan bangsawan.
Selain gula, Mangkunegara IV juga berbisnis kopi. Hasilnya juga tak kalah moncer. Produksi kopinya mencapai hasil belasan ribu kwintal setiap tahun. Total, dalam kurun 1868-1878, Mangkunegara IV berhasil memproduksi 52.000 ton kopi per tahun dan gula 207.000 ton per tahun.
Sikap anti-mainstream yang diambilnya sebagai pengusaha meski sudah jadi raja lantas membuahkan hasil. Dia tercatat berubah nasib menjadi orang terkaya Indonesia pada abad ke-19 berkat bisnis gula.
Ketika wafat, hartanya mencapai 25 juta gulden. Lebih dari itu, ekonomi modern yang dibuatnya menjadi pondasi gerak ekonomi para keturunannya hingga 6 keturunan.